Berkaitan dengan tulisan-tulisan sebelumnya di blog ini, dalam artikel ini saya akan menyampaikan secara singkat beberapa pemikiran/teori yang melatarbelakangi klaster industri. Untuk hal/bahan terkait, silahkan membaca pula beberapa artikel di blog opini pribadi saya . . .
Di antara beberapa hal yang sebenarnya sangat mendasar dalam konsep klaster industri dan membedakan satu konsep dengan konsep lainnya adalah dimensi/aspek rantai nilai (value chain). Dengan pertimbangan dimensi rantai nilai, secara umum terdapat dua pendekatan klaster industri dalam literatur, yaitu:
- Beberapa literatur, terutama yang berkembang terlebih dahulu dan lebih menyoroti aspek aglomerasi, merupakan pendekatan berdasarkan pada (menekankan pada) aspek keserupaan (similarity) sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam hal ini misalnya, sentra industri/bisnis, industrial district, dan sejenisnya yang mempunyai “keserupaan” aktivitas bisnis dianggap sebagai suatu klaster industri;
- Beberapa literatur yang berkembang dewasa ini, termasuk yang ditekankan oleh Porter, merupakan pendekatan yang lebih menyoroti “keterkaitan” (interdependency) atau rantai nilai sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam pandangan ini, sentra industri/ bisnis dan/atau industrial district pada dasarnya merupakan bagian integral dari jalinan rantai nilai sebagai suatu klaster industri.
Pendekatan rantai nilai dinilai “lebih sesuai” terutama dalam konteks peningkatan daya saing, pengembangan sistem inovasi (nasional/daerah), prakarsa pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan/teknologi atau tema sejenisnya, dan bukan “sekedar” upaya memperoleh “ekonomi aglomerasi” karena terkonsentrasinya aktivitas bisnis yang serupa.
Bahasan dalam blog ini selanjutnya lebih menekankan pendekatan yang kedua. Hal yang penting dari pendekatan kedua ini adalah asumsi bahwa untuk berhasil, perusahaan tidak dapat bekerja sendiri secara terisolasi. Identik dengan ini adalah bahwa inovasi seringkali muncul dari interaksi multi pihak.
Tanpa maksud memperdebatkan pandangan mana yang paling benar, yang tentu saja bukan maksud dari penulisan di blog ini, berikut disajikan secara singkat beberapa teori/konsep yang terkait dengan klaster industri.
Sejauh ini harus diakui bahwa tidaklah mudah untuk menentukan skema pengorganisasian dan keterkaitan antar teori/konsep yang berkembang menyangkut klaster industri. Diskusi tentang teori/konsepsi klaster industri terus berkembang, terutama dewasa ini.
Dalam blog ini, saya sampaikan 6 (enam) “teori” yang melatarbelakangi tentang klaster industri. Bergman dan Feser (1999) mengungkapkan bahwa setidaknya ada 5 (lima) konsep teoritis utama yang mendukung literatur tentang klaster industri daerah, yaitu: external economies, lingkungan inovasi, persaingan atau kompetisi kooperatif (cooperative competition), persaingan antar industri (interfirm rivalry), dan path dependence. Selain itu, pendekatan yang keenam adalah yang dikenal dengan efisiensi kolektif (collective efficiency), yang juga akan saya sampaikan secara singkat.
Kalau saya "sederhanakan," maka keenam teori tersebut adalah seperti ditunjukkan pada gambar berikut. Selanjutnya masing-masing teori tersebut akan saya sampaikan satu per satu.

1. Eksternalitas Ekonomi
Secara umum ada dua pendekatan konseptual dalam literatur untuk memahami manfaat terkonsentrasinya perusahaan dalam ruang geografis tertentu, yaitu:
- Teori lokasi industri (yang bertumpu pada karya Weber dan Hoover di tahun 1930-an), di mana manfaat yang diperoleh sering disebut ekonomi aglomerasi, dan
- Teori Marshal yang diawali analisis eksternalitas ekonomi dan kehadirannya dalam “kawasan industri (industrial district)”
Keduanya lebih menekankan pada eksternalitas statik atau dinamik (dari sumber eksternalitas tersebut), dan tidak memberikan perhatian khusus pada perbedaan antara eksternalitas keuangan atau teknologis.
Teori lokasi industri Weber mengidentifikasi ekonomi aglomerasi, yaitu penghematan biaya yang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan akibat dari meningkatnya konsentrasi secara spasial, sebagai salah satu dari tiga sebab utama pengelompokan spasial atau aglomerasi. Sebab-sebab tersebut merupakan eksternalitas ekonomi yang bersifat internal. Hoover selanjutnya memperkenalkan ekonomi lokalisasi dan urbanisasi. Belakangan penekanan atas keuntungan dari jarak kedekatan (proximity) antar perusahaan, ketersediaan dan penggunaan fasilitas perbaikan yang terspesialisasi, infrastruktur bersama, berkurangnya risiko dan ketidakpastian bagi para wirausahawan, dan informasi yang lebih baik, diidentifikasi sebagai faktor penting dari aglomerasi.
Sementara itu, teori Marshall mendefinisikan eksternalitas ekonomi sebagai penghematan biaya bagi perusahaan karena ukuran atau pertumbuhan output dalam industri secara umum. Eksternalitas ekonomi yang bersifat eksternal ini merupakan eksternalitas spasial, yaitu dampak samping ekonomi dari kedekatan jarak antara para pelaku ekonomi. Bentuknya bisa bersifat positif atau negatif, statik ataupun dinamik, keuangan ataupun teknologis. Faktor statik bersifat dua arah (peningkatan atau pengurangan), sementara yang dinamik adalah yang berkaitan dengan kemajuan teknologi, meningkatnya spesialisasi, dan pembagian kerja yang menyertai atau mendorong pertumbuhan dan pembangunan.
Krugman (1991) menelaah lokalisasi produksi industri dan mengidentifikasi tiga alasan lokalisasi tersebut, yaitu:
- Penghimpunan pasar tenaga kerja (labour market pooling) : konsentrasi sektoral and geografis menciptakan sehimpunan keterampilan yang terspesialisasi yang menguntungkan baik bagi tenaga kerja maupun perusahaan.
- Input antara (intermediate inputs) : klaster perusahaan memungkinkan adanya dukungan dari pemasok input dan jasa-jasa yang lebih terspesialisasi.
- Spillover teknologi (technological spillovers) : “klasterisasi/pengklasteran” memfasilitasi difusi know how dan gagasan secara cepat.
Dalam konteks eksternalitas ekonomi statik, perusahaan umumnya cenderung mengelompok dengan perusahaan lain yang erat dengan kepentingannya. Seperti disampaikan oleh Bergman dan Feser (1999), studi klaster industri sangat berkepentingan dengan eksternalitas ekonomi dinamik, terutama yang berkaitan dengan pembelajaran (learning), inovasi, dan meningkatnya spesialisasi. Dalam konteks ini Marshall merujuk keuntungan dari suatu “kawasan” (district) yang dapat dinikmati perusahaan akibat dari ketersediaan tenaga kerja terampil, kesempatan yang lebih baik untuk berspesialisasi intensif, dan difusi informasi dan pengetahuan yang bersifat spesifik industri (knowledge spillover).
Di balik dinamika tersebut bukanlah semata ukuran “kawasan,” tetapi juga faktor sosial, kultural dan politis, termasuk rasa saling-percaya (trust), kebiasaan bisnis, ikatan sosial, dan pertimbangan kelembagaan lainnya. Analisis Marshall ini memberikan pemahaman awal tentang bagaimana hubungan bisnis pada tingkat mikro dapat mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan daerah, dan berkaitan dengan pemikiran Porter tentang faktor struktur, strategi dan persaingan perusahaan dalam analisisnya.
Bersambung . . .
Baca Selanjutnya...